“Aku ajari dia memanah, ketika lengannya sudah kuat, dia lepaskan anak panahnya kearahku”. ~ Pepatah arab
Aku percaya kalau aku akan menghabiskan sisa hidupku di Bali.
Selama tujuh belas tahun aku mencurahkan hati, jiwa raga dan materi untuk mewujudkan kehidupanku di sana. Kemudian dalam rentan waktu yang singkat kehidupan itu hancur oleh karena tindakan yang disengaja oleh orang yang pernah aku kasihi dan aku percaya sepenuh hatiku. Saat itu aku merasa semua terjadi secara tiba -tiba tanpa sepengetahuanku, tapi kenyataannya adalah sebelumnya sudah banyak ada tanda -tanda peringatan untukku, saat itu aku masih bisa memilih antara aku abaikan saja tanda-tanda itu atau justru mempertimbangkannya. Aku pernah mendengar cerita dari orang yang pernah mengalami hal yang sama denganku, tapi saat itu aku memilih untuk mengabaikannya dan mempercayai kalau situasiku berbeda dengannya.
Pengkhianatan adalah kisah yang melegenda. Hanya sedikit orang yang bisa melewati hidup tanpa mengalami bentuk sebuah pengkhianatan. Aku sendiri sudah mengalaminya beberapa kali, tapi kali ini berbeda. Pengkhianatan yang satu ini sengaja dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan hidupku. Motivasinya bukan karena marah atau dendam. Hubungan kerja kami telah memberikan pasangan ini gaya hidup yang baru, memberikan mereka status hidup yang sebelumnya tidak pernah mereka bayangkan. Motivasi pengkhianatan mereka sama seperti pengkhianatan yang terjadi pada umumnya: ketamakan.
Mengingat kembali apa yang sudah terjadi, aku bertekad kalau ini tidak akan meruntuhkan semangat dan kesehatanku. Sampai saat ini, aku menulis tentang pengalamanku ini sebagai salah satu cara untuk membersihkan hati dan jiwaku dan berharap dengan ini aku bisa mendapatkan sebuah penjelasan. Aku tahu menelaah masa lalu dengan berbagai pertanyaan “ bagaimana jika “ dan “ mengapa” sama saja seperti mencari sesuatu di lubang hitam , dan sepertinya tidak akan mendapat penjelasan yang diharapkan. Tapi aku merasa harus membuka lagi luka ini , membersihkannya dan melanjutkan hidupku kembali.
Pelecehan bukanlah hal yang baru di hidupku. Hal itu sudah ada di sejarah keluargaku. Aku meninggalkan rumah ketika usiaku masih sangat muda, dan sepertinya inilah yang telah menyelamatkan hidupku. Aku tumbuh di keluarga dengan tingkat sensitivitas yang sangat tinggi. Keluarga dengan banyak kecemasan, ketakutan dan emosi yang tidak stabil. Tapi ini tidak menjadi pelindungku , sebaliknya aku menjadi punya toleransi tinggi untuk ketidaksempurnaan itu . Dan itu “ normal” untukku.
Aku tiba di Bali pada bulan Mei 2004. Sebagai salah satu tujuan dari perjalananku berkeliling dunia. Dengan cepat aku jatuh hati dengan kehidupan di Bali yang penuh spiritualitas dan kehangatan. Kehidupan seperti di negeri dongeng yang penuh keajaiban. Seiring dengan waktu meskipun semua berubah dan menjadi lebih gelap, aku tetap kukuh mempertahankan kehidupan ajaib negeri dongeng ini di kepalaku.
Selain aku sebagai korban, aku juga orang yang terlibat di sini untuk membuat keputusan dan memilih untuk membekali dan memberikan kuasa pada orang yang pada akhirnya akan menghancurkan hidupku. Aku akan menyebut perempuan muda itu “W” dan suaminya “L”.
W muncul dalam hidupku beberapa minggu setelah kedatanganku di Bali. Dia adalah keponakan dari tuan rumahku. Waktu itu dia berumur 19 tahun, mempunyai anak yang baru berumur 3 bulan, dan suami yang hanya memikirkan diri sendiri saja. Saat itu W butuh pekerjaan. Terikat oleh keterbatasan sebagai seorang perempuan di masyarakat yang berbudaya patriarki, dia tidak punya kekuatan sendiri atau pun ruang hidup sendiri. Hubungannya dengan ibu mertuanya tidak terlalu baik, tapi tetap dia harus bertahan untuk hidup dan tinggal bersamanya. Sepertinya dia memiliki tekanan hidup yang sangat berat. Rumah yang aku sewa tidak terlalu mahal, jadi saat itu aku hanya bisa memperkerjakannya sebagai pembersih rumah.
Awal hubungan kami tidaklah mudah. Meskipun dia senang mendapatkan pekerjaan ini, tapi sering sekali aku melihat W menangis. Aku merasa saat itu mungkin dia tidak senang bekerja denganku dan mungkin dia mau kerja di tempat lain. Dengan agak sungkan sepertinya dia menyembunyikan sesuatu karena dia selalu mencoba menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ternyata itu tidak karena sungkan, tapi karena dua gigi depannya hitam dan busuk. Ini menyebabkan dia tidak begitu percaya diri. Bahasa Inggrisnya sangat terbatas dan bahasa Indonesiaku juga tak begitu bagus. Jadi komunikasi kami cukup “menarik.” Tapi untungnya saat itu semua masih bisa diatur.
Waktu itu aku berencana untuk tinggal di Bali dua bulan saja. Dan aku tahu aku ingin kembali lagi ke Bali. Aku menyewa rumah yang sama ditahun yang sama. Setibanya aku di Bali lagi, aku lihat W langsung menuju ke arahku. Aku tidak ada janji dengannya dan saat itu aku bermaksud untuk tidak memperkerjakannya lagi, karena aku ingin memperkerjakan orang dengan perasaan yang lebih senang tanpa tekanan batin dan lain-lain. Tapi aku kasihan padanya dan tidak mau mengecewakannya. Jadi kuputuskan untuk mencoba memperkerjakannya lagi.
Aku membawa W ke dokter gigi, aku membayar biaya untuk memperbaiki giginya, dan juga mengkursuskan dia bahasa Inggris. Dia pintar dan rajin. Dia belajar cepat dan percaya dirinya meningkat cepat. Aku mendapat kesempatan untuk mengenal keluarganya lebih jauh lagi, dan dia juga mengenal banyak teman- temanku. Aku menemukan pekerjaan lain untuknya sehingga dia masih bisa bekerja jika aku tidak ada di Bali. Dia akan bekerja di sana, sampai aku bisa membayarnya sebagai pekerja full time di tempatku,ketika aku di Bali ataupun ketika aku tidak ada di Bali. Hari-hari kami penuh tawa dan canda, aku percaya saat itu kami sudah membangun sebuah persahabatan sejati.
Aku mulai mengorganisir kegiatan lokakarya/workshop dan menjadi tuan rumah untuk lokakarya Astrologi. Kegiatan ini adalah tiketku untuk bisa tinggal di Bali dan juga berkeliling dunia. Secara hukum, pada waktu itu sebenarnya lokakarya ini tidak mempunyai kejelasan izin karena tidak ada spesifik visa untuk kegiatan seperti ini. Bersama juga para koordinator kelas yoga dan acara-acara besar lainnya pada saat itu di Ubud, kami berharap yang terbaik. Aku membuka rekening bersama dengan W , karena ini satu satunya cara yang bisa dilakukan saat itu. Dia sangat religius (Hindu) dan aku percaya dia sepenuhnya , jadi tidak ada keraguan sama sekali dengannya.
Sekitar tahun 2009 aku memerlukan beberapa informasi penting. Aku minta W untuk membawa surat-surat dari Bank. Aku langsung melihat ada uang dengan jumlah yang lebih dari $1,300 menghilang dari rekening bank. Jumlah itu diambil lewat penarikan tabungan dan ditransfer ke rekening suaminya. Ketika aku datang menemui W untuk membahas hal in, W terlihat sangat terkejut dan jatuh bersimpuh di lantai dan menangis. Dia bilang dia selalu menyembunyikan nomor PIN kode dari suaminya L , tapi dia pasti telah menemukannya tanpa sepengetahuan W. Dan aku percaya semua yang dikatakan W.
Agak gemetar, aku menemui L sendiri. Aku bertanya kenapa dia mencuri uang dariku. Dia bilang uang itu dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dia juga bilang kalau dia akan mengambil uang dari istrinya kapan pun dia mau dan kapan pun dia perlu untuk kebutuhan dia sendiri. Tubuh L ditutupi banyak tato dan tindik tubuh. Dia menghabiskan banyak energi dan materi untuk penampilannya.
Aku meminta L untuk mengembalikan uang itu dalam jangka waktu tiga minggu atau kalau tidak aku akan melaporkannya ke polisi dan juga mengeksposnya sebagai pencuri di desanya dan juga di komunitas ekspatriat . Sampai beberapa tahun kemudian aku masih ingat tatapan matanya saat itu , mengerikan. Dia tidak punya perasaan menyesal sedikit pun telah mencuri dariku.
L akhirnya mengembalikan uangku. Seharusnya aku segera memutuskan hubunganku dengan mereka pada saat itu juga. Tapi aku prihatin pada W , khawatir akan kesejahteraan dan masa depannya menikah dengan seorang kriminal seperti L. Dia bilang dia mau meninggalkan suami nya, sebuah keputusan yang serius dan sulit untuk dilakukan sebagai perempuan Bali.
Mendengar apa yang telah terjadi padaku, pada suatu hari salah satu temanku langsung mendatangi rumah W. Dengan parang ditangannya dia mengancam W. W sangat marah tapi bukan karena perlakuan temanku saat itu , tapi lebih kepada akibat dari peristiwa yang terjadi saat itu untuk reputasi mereka.
Setelah itu aku bilang ke W aku tidak mau tahu tentang suaminya lagi. W berjanji untuk menghormati keputusanku ini. Tentu saja ini adalah pemikiran yang sangat naif dariku. Sistem keluarga di Bali adalah Patriarki, loyalitas di dalam keluarga mereka tidak bisa di patahkan .
Hubungan kerjaku dan W terus berlanjut. Membutuhkan waktu 20 tahun kontrak untuk sewa rumah dan juga mengurus renovasi rumah itu. Paman W adalah seorang mandor bangunan, kakeknya adalah tukang kayu , dan tantenya seorang buruh bangunan. Tidak beberapa lama kemudian kami sudah memperkerjakan hampir seluruh anggota keluarga W. Ayahnya menjadi tukang kebun, dan W sebagai kontraktornya. Hubungan kami berkembang baik menjadi sebuah tim. Aku merasa sangat bersyukur dikelilingi keluarga Bali ini dan berharap bisa menghabiskan sisa hidupku bersama mereka.
Karena W memiliki tanggung jawab yang lebih banyak sekarang, jadi kami memperkerjakan orang lain untuk membersihkan rumah, sehingga W bisa fokus dengan proyek pembangunan rumah. Aku membiayainya untuk sekolah mengemudi dan membelikan dia sebuah mobil, dimana mobil ini atas nama dia sendiri. Mobil bisa ditaruh di rumahnya dan dia bisa menggunakannya kapan pun dia mau. Gajinya pun meningkat seiring dengan keahlian dan tanggung jawabnya.
Aku sering bepergian. Aku juga mengadakan lokakarya di Mexico, India dan Inggris, serta mengurus penyewaan rumahku di Amerika. Aku tidak pernah berada di Bali lebih dari 5 bulan, dan kadang untuk beberapa tahun aku hanya bisa di Bali untuk 3 atau 4 bulan saja. Jika aku tidak ada di Bali maka rumahku akan disewakan. Tugas W adalah mengurus tamu , mempersiapkan lokakarya di Bali, dan mengurus pembukuannya. Tujuan utamaku adalah agar aku bisa menghabiskan sebanyak mungkin waktuku di Indonesia, tapi sayang ini tidak selalu bisa sampai akhirnya COVID menghantam.
Aku sangat peduli pada W seperti keluargaku sendiri. Dan aku selalu ingin yang terbaik untuknya. Aku mendorong semangatnya dan mendukungnya untuk memperjuangkan hak-haknya. Percakapan kami banyak tentang rencana dimasa depan, pembagian keuntungan dan target bersama. Aku selalu memastikan kalau aku membayar W cukup dan dia senang dengan pekerjaannya. Jika bisnis sedang bagus , aku berikan dia bonus kontan dan aku sangat senang bisa berbagi semua ini dengannya. Bersama kami belajar banyak dan dia adalah pendukung yang terbesar bagiku.
Selama kami sependapat satu sama lain , segalanya akan baik-baik saja. Tapi kemudian ketidakhadiran W di tempat kerja , ketika aku tidak ada di Bali, kini menjadi masalah yang mencolok. Berkutat dengan banyak proyek, kami harus bicara secara rutin, tapi dia selalu mengabaikan teleponku dan ini berlangsung untuk waktu yang lama. Beberapa teman-temanku juga sedang membangun proyek dengannya, mereka juga mengeluh hal yang sama tentang W. Aku khawatir dan kesal akan sifatnya yang pasif agresif ini. Meskipun aku merasa bersalah dan malu akan perlakuannya terhadap teman-temanku , anehnya aku memilih untuk tidak mengakui bagaimana sulit dan rawannya arus hubungan “kerja sama kami.“
Masalah yang lain adalah laporan pembukuan. Salah satu tugas W adalah membuat catatan pengeluaran bulanan untuk rumah. Aku memberi dia laptop MacBook Pro sehingga dia nanti bisa mengerjakan catatan pembukuan dengan mudah ,dengan hanya menggunakan program yang sudah ada. Pada awalnya aku menerima laporan bulanan tepat waktu , tapi seiring dengan waktu berjalan dia sering terlambat dengan laporan pembukuan.
Kebohongan-kebohongan kecil muncul dan itu pun sangat halus terdengar contohnya seperti dia bilang dia sudah melakukan tugasnya padahal kenyataannya dia belum pernah mengerjakannya. Ini menyebabkan beberapa kali ketegangan diantara kami. Kenyataan dia berbohong sangat mengusik hati dan pikiranku. Tapi aku berusaha untuk tidak merasa kecewa atau terlihat kalau aku tidak bisa menanggung semua ini. Kami semakin sibuk, tuntutan kerja untuk satu sama lain semakin meningkat , saat itulah aku merasakan kebenciannya. Sebenarnya dia boleh saja berhenti bekerja, dia bebas untuk itu dan aku akan dengan senang hati mewujudkannya.
L tidak pernah terlihat lagi sejak kasus pencurian itu. Dia mewarisi tanah keluarga dan sibuk dengan sponsor asing mengembangkan bisnis dengan membangun rumah dan mengurus penyewaannya. Pernikahan mereka sepertinya kembali baik-baik saja. Aku merasa lebih tenang jika melihat L hanya pada hari tertentu saja dan itu pun dari jarak jauh .
Karena saat itu terlalu banyak proyek yang harus dikerjakan, aku minta W untuk mencari seorang asisten lagi. Dia bilang tidak ada orang yang cocok untuk posisi itu. Keinginanku untuk mencari satu asisten lagi sudah ada dari beberapa tahun yang lalu , tapi belum juga sempat terwujudkan.
Salah satu keluarga W memiliki properti tua yang tidak berfungsi lagi, tapi berada di lokasi yang sangat strategis. Aku membantu mereka memperbaharuinya menjadi bangunan layak sewa dengan harga yang cukup tinggi. Aku meminjamkan mereka 50 juta rupiah ( lebih dari 4,500 dolar pada saat itu) untuk renovasi. Sebagai gantinya aku boleh menggunakan properti itu untuk keluarga dan teman-temanku yang berkunjung ke Bali. Dan saat itu aku hanya sempat menggunakannya sekali saja, untuk satu minggu.
Aku membuat akun AirBnb untuk mereka dan selama empat tahun lamanya aku mengatur semua pemesanan kamar dan berkomunikasi dengan para tamu (saat itu tidak ada seorang pun dari keluarga mereka yang bisa berbahasa inggris dengan baik). Penyewaan berkembang sangat pesat , dan itupun merubah kehidupan mereka dengan cepat. Aku senang bisa melakukan ini untuk mereka tanpa menerima imbalan apa pun.
Saat itulah kehidupan profesionalku dan kehidupan pribadiku terikat erat dengan W. Aku tidak bisa membayangkan kalau ada kemungkinan dia tidak jujur padaku. Sangat mudah untukku dengan menunjuk L yang tidak jujur di sini. Dalam banyak hal aku dan W menjadi lebih dekat lagi. Dan saat itulah mulai ada hal-hal yang mengejutkan terjadi.
Yang pertama terjadi di tahun 2012, setelah aku membuat keputusan besar dalam hidupku untuk menjual rumahku di California dan menjadikan Indonesia sebagai rumahku. Selama 30 tahun aku bekerja keras untuk membayar sewa rumah dan membesarkan dua anakku sendiri. Rumah itu adalah satu satunya aset berhargaku dan sekarang aku akan menginvestasikan semua untuk kehidupan yang indah dan sederhana di Bali. Ubud menjadi semakin padat dan banyak sawah-sawah yang dijual ke perusahaan konstruksi. Lalu aku minta W untuk mencari area di sekitar Ubud, sebidang tanah pedesaan yang sepi. Dan dia pun menemukannya.
Pada saat itu juga W sulit untuk dihubungi. Dia tidak menjawab teleponku atau pun meneleponku kembali. Dia tidak menjawab email, juga tidak ada membalas smsku. Saat itu aku tidak ada di Bali. Meskipun aku sudah terbiasa dengan situasi seperti ini di masa yang lalu, dimana W mengabaikanku tanpa penjelasan apa pun tapi aku merasa kali ini berbeda, ini berlangsung terlalu lama, dan aku pun mulai panik.
Aku sudah mendepositokan uang dengan jumlah yang besar di rekening bersama kami. Hanya dia yang bisa mengakses rekening itu. Aku menjadi kalut, terlebih lagi karena komunikasi antara kami terputus 100%. Aku menghubungi orang-orang di Bali dan mengetahui kalau dia masih sehat dan baik-baik saja. Tanpa alasan dan penjelasan ,dia menolak untuk berbicara denganku.
Aku kembali ke Bali dan mengetahui kalau dia sedang mengandung anak kedua dan kondisinya lemah karena banyak mengalami mual-mual di awal kehamilan. Aku merasa ini bukanlah alasan yang tepat untuk membisu dan tidak berkomunikasi lagi denganku. Tapi lagi-lagi aku menyangkal perasaanku dan kembali menerima alasan perlakuannya ini terhadapku.
Bagaimanapun juga hubungan kami tetap berlanjut dan saat itu menjadi lebih sibuk dan lebih menarik untuk dijalani. W melahirkan bayi perempuan yang cantik, dan sekarang kami mempunyai properti dimana aku membayangkan diriku akan membangun rumah yang sederhana, menikmati hidup dan menghabiskan sisa hidupku di Bali. Saat itu aku tidak mampu membayar seluruh properti. Tapi sepasang suami istri yang juga mempunya mimpi yang sama denganku akhirnya membeli setengah dari properti itu. Banyak hal yang menakjubkan terjadi saat itu. Aku dan pasangan itu telah membayar lunas tanah itu. Di Bali orang asing tidak bisa memiliki tanah/properti , karena itu kami gunakan nama W sebagai pemilik sah tanah itu.
Lokasinya agak lebih tinggi dan lebih sejuk dari Ubud. Jadi tidak perlu AC, dan aku juga sudah mempunyai beberapa rumah kayu Jawa yang aku beli dari seorang teman. Tujuanku tinggal di sana adalah untuk bercocok tanam, memelihara ayam dan mempunyai tempat yang cukup jika ada teman atau keluargaku yang berkunjung. Saat Itu W menyukai tempat itu dan menikmati kegiatannya berkebun dan berkreasi membangun rumah itu denganku.
Ketika kami membahas banyak hal tentang rencana di masa depan , W mengatakan kalau dia akan selalu menjagaku sampai sisa hidupku nanti. Karena janji itu, dan seiring dengan harapanku untuk W bisa mempunyai hak miliknya sendiri, tanpa peduli apa pun yang terjadi dalam pernikahannya nanti , akhirnya aku memberikan sepertiga dari tanah itu untuknya. Lagi-lagi harapan yang naif dan mustahil dariku karena perempuan Indonesia tidak bisa memiliki properti tanpa melibatkan suami mereka.
Kami menikmati kreativitas dari proyek kami. Kami memperluas rencana kami. Kami menandatangani kontrak 25 tahun untuk membangun sebuah retreat centre dan juga rumah kecil yang bernuansa pedesaan yang indah untukku. W sangat antusias dengan ide ini. Dan menganjurkanku untuk membangun tempat yoga juga. Kontrak untuk properti itu akan berlanjut hingga aku berumur 90 tahun-an. Dengan ini aku telah membuat sebuah komitmen hidup.
Itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Paman W , seorang yang sangat baik hati bersedia menjadi kontraktor /tukang bangunan. Meskipun kami tidak pernah berkomunikasi secara langsung, aku selalu merasa kalau dia adalah orang yang bijaksana. Kenyataan bahwa dia adalah orang yang baik dan dihormati oleh seluruh penduduk desanya meyakinkanku bahwa W adalah orang yang bermoral juga.
Saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Dan aku tidak akan menggantikannya, terlepas dari apa yang terjadi kemudian. Aku hidup dalam kesederhanaan dan berharmoni dengan alam. Setiap hari aku bekerja bersama orang -orang yang aku kagumi untuk membuat susuatu yang indah.
Masalah besar berikutnya terjadi di tahun 2016, tiga setengah tahun setelah kami memulai proyek kami. Waktu itu aku sedang ada di California ketika W mengatakan kalau dia mau menjual tanah yang aku berikan padanya. Dia ditawari properti baru dengan harga murah di Ubud , dan dia perlu uang untuk membayar properti itu. Aku sudah mendirikan sebuah rumah kayu jati di atas tanahnya itu , dan itu semua untuknya, tapi sekarang dia akan menjualnya.
Aku tidak akan pernah memberikan dia tanah itu jika saja aku tahu kalau dia kemudian berencana akan menjualnya ketika aku masih hidup. W mengatakan kalau dia mempunyai hak atas tanah itu karena dia telah membantuku mendapatkannya dengan harga yang murah. Kalau saja aku tahu akan terjadi seperti ini, dengan senang hati aku beri dia komisi saja pada waktu itu. Jika dia sekarang menjual tanah itu, dan orang yang tidak aku kenal akan tinggal disana. Aku tidak suka ide itu. Tapi jumlah uang yang W minta sangat banyak. Dan aku tidak mampu untuk membayarnya.
Memalukan untuk mengakuinya, meskipun aku adalah orang yang menjadi sumber utama finansialnya, aku tidak pernah meminta dan tidak pernah diperlihatkan satu pun dari dokumen sah properti kami itu. Aku menyimpan semua pembukuan dan komunikasi dari hubungan kerja kami. Tapi akan memerlukan penelitian yang dalam untuk menggali hal-hal detail dari kontrak penjualan.
Hancur hatiku mendengar keinginannya untuk menjual tanah itu. Keluarga dan teman-temanku bisa melihat bagaimana aku akan jatuh ke lubang depresi dan mereka khawatir akan keadaan dan keamananku di Bali. Dan mereka tidak salah.
Dalam kepanikan aku menyarankan rumah pertamaku di Ubud untuk ditukarkan dengan lahan tanah yang akan dijualnya. Rumahku masih 12 tahun lagi dan sudah dibayar di depan lunas. Keuntungan bersih rumah yang disewakan bisa mencapai lebih dari $ 1,000 per bulan, dan aku sudah menginvestasikan lebih dari $80,000 untuk sewa dan renovasi , jadi pertukaran ini tidaklah seimbang ( W lebih diuntungkan). W setuju dengan tawaranku , dan rumahku yang indah di Ubud pun hilang dariku. Aku juga melimpahkannya seluruh kepemilikan mobil yang aku beli sekitar $8,000 beberapa tahun yang lalu.
Dengan jelas di depan mataku aku bisa melihat dia merasa kalau dia berhak untuk mendapatkan semua itu. Tanpa rasa terima kasih, hanya kekesalan yang aku rasakan, aku harus memindahkan semua barang-barangku keluar dari rumahku. Karena keangkuhan dan kekhilafanku , tanpa kusadari aku sudah menciptakan seorang monster di hidupku.
Tidaklah mudah untuk mencari orang yang bersedia mengambil alih penyewaan rumah. W dan L masih belum bisa membeli properti yang mereka mau. Mereka menyewakan rumah dengan memanfaatkan resensi positif dari para tamu dan juga tamu-tamu lama yang aku kenal selama bertahun-tahun ketika aku mengurus AirBnb mereka. Akhirnya salah satu teman baikku bersedia mengambil alih sewa rumah hingga kemudian W dan L bisa membeli properti yang mereka mau.
Setiap kali aku mengenalkan W ke teman-temanku untuk berbisnis, sering segala sesuatunya menjadi sulit, berbagai keluhan tentang harga terlalu tinggi, kebohongan, manipulasi, dan juga transaksi yang tidak jujur. Dan jika aku tidak ada, maka L akan muncul dan mengambil alih transaksi. Di pikiranku , aku selalu berpikir dia adalah sumber dari segala masalah, aku masih belum bisa mengakui kalau sebenarnya dia dan W adalah sama saja.
Aku berharap mereka pada akhirnya akan puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan, tapi ternyata tidak. Monster itu tumbuh semakin besar dan semakin kelaparan.
Sebuah mobil baru, sepeda motor keluaran terbaru, perhiasan emas, pakaian yang mahal, Hp, dan gadget terbaru pun menjadi keharusan untuk mereka.
Seiring dengan kebutuhan mereka yang semakin bertambah, begitu juga sifat arogan mereka, mereka merasa berhak untuk memiliki semuanya. Berulang kali W mengatakan kalimat terbarunya, “ saya mulai dari nol”. Dia sangat bangga akan kesuksesannya( meskipun sebenarnya pada kenyataannya itu di fasilitasi oleh orang lain). Dia memberitahuku kalau penduduk di desanya sekarang banyak yang ingin tahu tentang kekayaannya dan bertanya apa dia sekarang mempunyai “ Sugar Daddy”. Kami tertawa mendengar hal ini, tapi sejak saat itu aku mulai menyadari betapa pentingnya status untuk W dan suaminya. Mereka hanya fokus dengan semakin banyak materi yang mereka punya semakin tinggilah status sosial mereka.
Ironisnya ketika ini terjadi, aku menginginkan hidup yang lebih sederhana, terinspirasi dari indahnya kehidupan orang Bali di desa. Aku terbiasa terlihat kusut dan compang camping bekerja di kebun dengan tangan yang kotor dan lumpur diantara kuku-kuku jemariku. Sementara itu W datang dengan kuku-kukunya yang elegan setelah di manikur, berdandan dan berpakaian yang mahal.
Kelas astrologiku masih berlanjut, juga di beberapa negara aku masih mengadakan beberapa lokakarya. Jika aku tidak bekerja di kebun , aku akan mengurus reservasi, pendaftaran dan mengurus keperluan perjalananku. W mengawasi jalannya proyek dan staf dan juga menyiapkan properti untuk lokakarya. Hari-hari yang produktif dan menyenangkan, hampir tiap malam aku tertidur lelap karena kelelahan.
Untuk membuat W lebih bersemangat lagi dalam pekerjaannya, sambil bercanda aku menyebutnya sebagai manajer/akuntan/asisten pribadi dan juga kontraktor. Pada kenyataannya dia cuma hadir untuk setiap pekerjaannya ini ketika dia bisa saja, dan jika dia merasa terlalu banyak tekanan maka dia akan tinggal di rumah saja karena sakit kepala. Karena ini sering terjadi maka penting bagiku untuk mencari satu asisten lagi. Tapi aku tidak bisa mencarinya sendiri. Hubungan W dan staf lainnya adalah hal yang sensitif. Kecemburuan dan penghargaan sebagai orang favorit akan bisa menciptakan masalah serius di dalam tim kami. Jadi hanya W yang bisa mencari orang yang nantinya bisa bekerja sama dengannya.
Sementara itu mitra tanahku berkonsultasi dengan pengacara untuk membuat semuanya sebisa mungkin sah secara hukum. Kami sudah mempunyai semua ijin sah dan surat-surat penting properti, tapi banyak hal-hal detail yang dulu dinegosiasi secara informal dan persetujuannya hanya lewat kata-kata tanpa hitam di atas putih.
Ketika aku membicarakan hal ini ke W dia sangat marah, dia bilang kami tidak mempercayai dia dan keluarganya. Dengan melibatkan seorang pengacara dalam hal ini sangat menyinggung perasaan orang Bali. Dia bilang ini ide yang bodoh dan dia sangat kecewa akan hal itu.
Jika diingat kembali yang telah terjadi dulu, ini kembali menjadi momen pilihan untukku. Jika saja aku mengikuti saran mitra tanah dan pengacaraku, mungkin aku masih bisa menghindari masalah besar yang terjadi berikutnya. Tapi sebaliknya aku memilih untuk menghormati permintaan W lagi dan mengabaikan masalah yang sebenarnya sudah ada dan masih belum terselesaikan.
Seiring dengan berjalannya proyek, akhirnya kami menyewa seorang pembersih rumah, tukang kebun dan beberapa tukang bangunan, yang juga menjadi seperti keluargaku sendiri. Meskipun bahasa Indonesiaku tidak bagus , hubungan kami tetap hangat dan harmonis. Ini adalah hal yang terindah dalam hidupku. Ketika aku menikmati masa-masa ini bersama para staf baruku di properti , W dan L membentuk kehidupan baru mereka di kota.
Suatu saat ayah W menderita sakit misterius. Mereka lalu berobat ke orang pintar dan juga ke dokter umum. Ketika kondisi ayah W kembali pulih, mereka percaya itu karena jasa sepasang orang pintar yang kusebut di sini berinisial “J” dan “G”. J adalah yang mengobati sementara G adalah suami sekaligus asistennya. Aku tetap berusaha berpikiran terbuka menyingkapi hal ini . W sangat antusias bahkan merujuk mereka kepadaku sampai akhirnya aku pun mengenal mereka juga.
Bali sangat mendalami tentang kepercayaan spiritual, kegiatan spiritual dan juga sumber spiritual dan ada makhluk yang dipercaya menguasai dan mengatur mereka. Tapi kupikir dua orang ini bukanlah dari sumber spiritual itu. Ada sesuatu yang kupikir aneh dari mereka.
Jumlah uang “ donasi “yang mereka mau tidaklah sedikit. Mereka bersikap seperti mereka yang berkuasa, kupikir ini bukanlah sikap orang Bali yang biasanya. Mereka bertindak semau mereka, seperti mengambil makanan dari kulkas dan juga mengambil kedua ternak ayamku. Yang paling aku tak suka adalah ketika mereka berperilaku seperti bos kepada semua stafku . Semua staf tidak menyukai mereka.
Kedua orang ini datang ketika aku dan W sedang mengalami masalah serius dalam hubungan kami. Aku tidak bisa menyalahkan suaminya yang kriminal atau teman-temannya yang parasit yang telah membawa pengaruh buruk untuknya. Mereka mendukung W dan membuatnya senang tapi sebenarnya itu hanya karena W satu satunya orang yang memiliki hubungan pribadi dan juga hubungan bisnis denganku.
Ketika mereka sudah mengumpulkan dana dari rumahku di Ubud. Mereka kemudian menyewakan properti baru mereka. Semangat W dalam pekerjaannya perlahan menurun. Ketika aku bekerja dinegara lain, resensi online berkurang , properti tidak terawat dan diabaikan. W sering membayar gaji staf terlambat dan dia akan menyalahkanku untuk ini sehingga hubunganku dengan para staf pun menjadi agak tidak baik.
September 2018, akhirnya dia memperkerjakan salah satu anggota keluarga untuk menjadi asisten. Aku sebut dia berinisial “K”. Dia sebenarnya selalu ada pada saat itu. Tapi W selalu bilang tidak ada orang yang bersedia untuk posisi ini. Aku pikir dia mengatakan ini sebagai bentuk dari rasa ketidaknyamanannya dan rasa ingin memiliki semuanya sendiri. Bahasa inggris K sangat bagus, dia disukai oleh para staf dan juga dia membawa semangat baru di tim kami. Dia memiliki jiwa yang sensitif, dan dari awal selalu menghormati dan menghargai posisi dan perasaan W. Meskipun demikian W mulai mengeluh dan merasa dikesampingkan dan lebih sering mengambil hari libur. Dia juga memperlakukan staf kami seperti pembantunya. Ketika dia tidak bekerja dia akan menelepon mereka langsung, meminta mereka berbelanja untuk kepentingan pribadinya, bahkan juga menyuruh mereka untuk membawakan barang belanjaan itu ke rumahnya. Dan itu memakan waktu 40 menit untuk sekali jalan.
Dengan naifnya aku masih percaya kalau aku masih bisa memperbaiki hubunganku dengan W, hanya kalau aku punya solusi yang bagus. Aku bertemu dengannya dan menyarankan akan membayar gajinya per hari dengan jumlah yang kupikir sangat cukup, sehingga dia masih bisa mempunyai penghasilan yang cukup meskipun dia hanya bekerja separuh waktu. Dia menolak saranku itu dan mengharapkan gaji full time. Jadi kami bernegosiasi kembali tentang posisinya. Lalu kami menyetujui jam kerja barunya yakni : dia akan mendapat kenaikan gaji dan jam kerjanya lebih pendek tiap minggunya. Tidak berselang lama dia sudah mengingkari persetujuan baru kami ini. Dia kembali bekerja kira-kira 5 hari ditahun berikutnya dan membayar gajinya sendiri dengan persetujuan gaji yang lebih tinggi yang dia sebut sebagai “royalti” . Dia membayar beberapa rekening rumah tapi jarang menunjukkan pembukuannya, dan jika ada perbedaan di pembukuan dia menolak untuk membahasnya. Saat itu hubungan kami benar-benar sudah hancurr dan dia menghilang begitu saja tanpa meninggalkan penjelasan.
Keponakan baru dia lahir dengan penyakit yang serius. Seluruh keluarganya ikut merawatnya. Aku tidak tahu tentang hal ini sampai W bilang inilah alasan dia tidak lagi bekerja sambil menyalahkanku kalau aku tidak peduli akan kondisi keluarga dia saat itu.
Masalah yang terakhir terjadi tidak selang beberapa lama sebelum pandemi menghantam. W dan L mau meminjam uang kira -kira $170,000 USD dengan menggunakan properti kami sebagai jaminan. Mereka mau membuka restoran baru bersama dengan kedua temannya J dan G .
Aku bilang tidak bisa. Jika aku menyetujuinya sama artinya dengan bangkrut dan tidak hanya karena mereka tidak bisa dipercaya tapi juga tanpa sepengetahuan kita di seluruh dunia, utamanya industri pariwisata akan ditutup saat itu.
Aku tidak bisa lagi mencari alasan untuk membela tindakan W ini. Dia sekarang dengan nyata melibatkan L lagi dan aku merasa tidak nyaman untuk membangun hubungan apa pun dengan mereka. Semua ikatan harus diputuskan secepat mungkin. Saatnya melibatkan pengacara.
Pada bulan Maret 2020 aku dan K mengambil alih pembukuan yang sudah diabaikan sejak Oktober 2019. W mengabaikan semua permintaan kami tentang perihal surat-surat. Kami tidak tahu tentang pajak, asuransi dan pengeluaran sudah dibayarnya. Semua menggunakan nama W tapi kami tidak bisa mendapatkan informasinya.
Covid menghantam Bali dan bisnis pun harus ditutup. Airport ditutup dan pariwisata pun jatuh. Kami bertahan dan perlahan merangkak berusaha keluar dari pandemi ini. Sama halnya denganku ada kumpulan orang-orang di sini yang harus hidup dan menjalani dengan berat efek pandemi ini secara mental dan juga finansial . Kami mempunyai delapan orang staf. Beberapa dari mereka sudah bekerja dengan kami selama 6 tahun. Ketika lock down terjadi aku berjanji untuk tetap memperkerjakan mereka selama mungkin.
Ternyata waktu-waktu pandemi itu menjadi saat yang indah untuk kami. Tidak ada tamu , kami fokus dengan kebun kami, berkreasi di dapur , memperbaiki bangunan yang rusak, dan mulai dengan dekorasi baru dan proyek yang praktis. K menjadi manajer yang istimewa dan juga mengajar para staf bahasa inggris. Dia membuka kelas formal untuk mereka tiga kali seminggu.
Kami membeli alat pengering untuk menyimpan dan mengeringkan buah-buahan dan bumbu. Kami belajar bagaimana memfermentasikan buah dan sayur dan membuat sendiri cuka, minuman jahe dan arak limoncello. Kami menanam anggrek dan banyak jenis bunga yang bisa juga digunakan untuk bersembahyang sehari-hari. Kami berternak ayam, membuat sarang lebah , membuat kue, dan bereksperimen dengan masakan vegan .
Para staf sangat menikmati pekerjaan mereka. Kebanyakan dari mereka adalah tulang punggung keluarga pada saat yang sulit ini. Ironis sekali ketika dunia sedang menderita , ini adalah saat-saat terindah dalam hidupku.
Suatu hari aku terpeleset dan tulang pinggulku menghantam sisi batu keras. Sakitnya luar biasa sampai aku tak bisa bergerak. Aku malu sekali karena beberapa staf harus menggotongku. Aku dibawa ke rumah sakit lokal dimana aku harus menunggu lama untuk menunggu giliran untuk di ronsen dan harus menunggu lagi untuk hasil ronsennya keluar.
Saat itu juga L datang ke rumah sakit bersama W di belakangnya. Ternyata mereka berencana untuk membawaku ke rumah keluarga mereka untuk dirawat di sana. W sudah mengabaikanku selama satu tahun lebih dan juga dia berjanji aku tidak akan terlibat lagi dengan L, asumsi mereka kalau aku akan mengikuti rencana mereka adalah sesuatu yang mustahil.
Jika saja mereka meneleponku sebelum datang ke rumah sakit saat itu ,mereka tidak perlu menghabiskan waktunya untuk datang ke rumah sakit. Dengan sopan dan tenang aku memberitahu mereka kalau aku tidak perlu “bantuan” mereka. Mereka menganggap penolakanku itu sebagai penghinaan untuk mereka. Aku hampir berumur 70 tahun dan saat ini aku dalam keadaan yang tidak berdaya, dan aku juga tidak percaya pada mereka. Aku masih ada staf yang sangat baik dan perhatian padaku. Mereka tidak akan mengecewakanku dan akan sepenuhnya merawatku hingga aku pulih nanti( untung saja tidak parah )
Setelah beberapa minggu akhirnya aku bisa menggunakan kakiku lagi, dan waktu -waktu menyenangkan di Bali kembali lagi. Aku tidak bisa pergi jauh dari rumahku, dan aku sangat berhati -hati jika keluar rumah. Di desa kami semua orang divaksinasi, dan kami beruntung masih aman dari infeksi, Covid pun sudah menyebar ke seluruh Bali.
Seiring dengan waktu berjalan , janjiku untuk tetap memperkerjakan stafku menjadi semakin sulit. Tapi aku tidak menyesalinya. Aku mendapatkan keahlian baru, kepuasan , dan banyak kenangan yang tak bisa dibandingkan ataupun diukur dengan uang.
Di bulan agustus 2021, tanpa diharapkan W datang dua kali di pura di area propertiku. Dia tidak bisa melewatkan hasil kerja keras kami selama masa pandemi. Propertiku berubah menjadi lebih cantik dan indah.
Lalu aku membuat suatu kesalahan. Aku pergi ke pantai favoritku dengan naik sepeda motor. Aku bermaksud untuk berlibur selama beberapa hari di sana. Aku tiba dimalam hari dan tanpa berpikir panjang aku menaruh foto di Facebook. W dan L tahu aku tidak ada di properti saat itu. Pagi harinya mereka datang ke properti bersama dua temannya J dan G. Staf meneleponku dan memberitahukan hal ini padaku. Segera aku membuka security software di laptopku dan melihat rekaman video. Kami memasang beberapa kamera sepanjang jalan di properti. Aku bisa melihat L mencoba mengalihkan kamera yang tertuju ke arah rumah. Lalu mereka masuk ke rumah dan menghilang selama lebih dari satu jam. Saat itu juga mereka meminta staf untuk membuatkan mereka kopi.
Aku merasa terinvasi dengan keadaan ini dan ini sangat menyeramkan. Tidak bisa tenang, akhirnya besok paginya aku naik sepeda motor lagi kembali ke properti. Tiba di rumah aku bisa melihat beberapa barang-barangku letaknya berubah tempat.
Kemudian W menghubungiku dan mau bertemu denganku. Aku setuju tapi aku masih perlu laporan pembukuan kami. Sudah hampir dua tahun dan dia tidak memberikannya. Dua dari staf kami tidak punya asuransi dan tidak tahu apa pajak dan ijin mereka sudah di bayar. Baru- baru ini kami juga mendengar tukang listrik yang bekerja untuk proyek bangunan pun belum dibayar lunas.
Seminggu kemudian akhirnya kami menyelesaikan pembukuan kami. Langsung saja kami menemukan banyak kejanggalan dan perbedaan yang mencolok. Pembukuannya sangat berantakan , karena itu kami menyewa orang untuk menelaah semua dengan teliti. Aku mengetahui kalau W membayar dirinya sendiri selama Covid dan lockdown dengan gaji full meskipun dia tidak selalu ada di properti waktu itu. Kami mengurai semua catatan pembukuan itu. Tapi banyak ketidaksesuaian yang kami temukan dan tidak dapat dijelaskan. Salah satunya adalah adanya perbedaan besar antara jumlah tagihan biaya tukang listrik yang diminta dariku dengan jumlah yang seharusnya aku bayarkan kepada tukang listrik tersebut.
Akhirnya aku bertemu W. Dia mengeluh kalau aku selalu fokus akan mimpiku tidak pernah peduli akan mimpinya. Aku hanya berharap saat itu dia memberitahuku tentang ini sebelumya dari awal hubungan kami. Jadi aku bisa mencari orang yang bisa aku ajak berbagi mimpi yang sama, dan tidak dengan orang yang nantinya akan menghancurkan mimpi itu. Dia marah padaku, membuat tuduhan, dan membahas kisah kami kembali yang telah membuatnya sebagai korban yang telah lama menderita. Bertahun-tahun dengan gaji yang tinggi, banyak bonus, kado, pemberian sukarela ternyata hanya memenuhi rasa tidak puasnya dan membuat dia berpikir kalau aku ( seperti orang barat lainnya) punya banyak uang yang tak terbatas. Secara tidak aku sengaja aku sudah menciptakan seorang monster. Sekarang moster itu berdiri di depanku, dan berteriak apa yang sudah dia dapatkan masih belum cukup untuknya.
W selalu menyalahkan orang lain dan belum pernah aku dengar sekalipun dia bilang “maaf” atau merasa bertanggungjawab akan semua yang telah terjadi. Pertemuan itu tidak ada artinya untukku. Pertemuan yang sia-sia, tapi saat itu aku merasa aku belum mengalami seluruh kekejamannya.
Setelah pertemuan itu W dan L datang ke properti lagi dan mencegah K di tempat parkir. K sudah bekerja denganku selama tiga tahun. Tiba -tiba saja dia minta berhenti begitu saja dari pekerjaan yang disukainya. Dia tidak pernah memberitahu apa yang W dan L katakan padanya saat itu di tempat parkir. Tidak ada satu kalimat negatif pun tentang mereka. Aku dan staf mengagumi K , kami semua sedih melihatnya pergi.
W bukan orang yang sama lagi yang aku temui di tahun 2004. Seorang perempuan yang pemalu dan depresi karena gigi depannya busuk. Seorang perempuan yang datang tanpa sepeser uang pun kini menjadi perempuan rapi, terawat, sombong dan juga kejam. Kehangatan dan kebaikan yang pernah aku liat dari dirinya hanya muncul ketika di perlukan saja, untuk menarik perhatian dan memanipulasi.
Akhirnya aku melihat siapa sebenarnya W dan L. Mereka akan melakukan segalanya untuk uang dan kekuasaan. Mereka tidak punya hati nurani, bahkan anggota keluarga pun mereka intimidasi demi mewujudkan impian mereka. Dan yang mereka lakukan ini baru sebagian kecil saja, seperti puncak dari gunung es , apa yang ada di bawah air tidak terlihat sama sekali.
Pada tanggal 21 September 2021 sebuah upacara Hindu besar di gelar di properti. Upacara ini sudah beberapa kali ditunda karena aku tidak mengizinkan mereka mengorbankan anjing sebagai salah satu tradisi upacara di Bali. Aku menolak untuk mendukung ataupun membiayai kegiatan seperti itu. Aku juga sudah membicarakannya dengan beberapa teman yang sudah bertahun- tahun tinggal di Bali. Mereka semua menyarankanku untuk tetap bertahan dengan prinsipku karena masih ada cara lain untuk menjalankan upacara Hindu ini.
Aku sudah menghabiskan ribuan dolar untuk berbagai upacara selama aku tinggal di Bali. Aku sangat menghormati ritual orang Bali tapi membunuh anjing akan menghantui hidupku untuk selamanya. Pada akhirnya mereka hanya akan menggunakan ayam untuk sesaji di upacara itu.
Pagi itu penduduk desa mendapatkan vaksin ke dua, begitu pun denganku. Setelah itu aku kembali ke properti untuk upacara ritual itu. W dan L juga ada di sana. Tidak sengaja aku bertemu mata dengan W di tengah keramaian saat itu. Tatapan matanya saat itu tidak akan pernah aku lupakan. Tidak hanya tatapan mata yang dingin tapi juga seperti sebuah senyuman sinis yang menandai dia masih punya rencana untukku.
Hari berikutnya aku merasa tidak enak badan karena efek samping vaksin yang kemarin. Aku tinggal di rumah saja hari itu. Pada siang harinya salah satu staf memberitahuku kalau petugas pemerintah ada di properti kami. Menengok keluar aku bisa melihat dua petugas muda yang tegap berjalan di tangga menuju rumahku dan dua lagi sudah mendekati pintu rumahku. Setelah memperlihatkan lencana mereka padaku, lalu mereka memberitahuku kalau mereka dari petugas imigrasi dan mereka datang untuk menginvestigasiku. Ditangan mereka aku bisa melihat mereka membawa kertas printer dari internet dan aku bisa melihat kertas itu berisikan websiteku yang lama untuk lokakarya dan penyewaan rumah. Mereka mau bertemu dengan pemilih sah properti, jadi kupanggil W, yang saat itu pastinya sudah menunggu telepon dariku. Lalu W dan L muncul diruang tamu, sementara aku masih di tempat tidur sakit, bingung , dan penuh ketakutan.
Situasi saat itu memang menakutkan, mengintimidasi, tapi para petugas saat itu sopan dan mereka memperlakukan aku dengan hormat. Aku sudah dilaporkan ke kantor imigrasi dan mereka hanya menjalankan tugas mereka.
Aku baru saja memperbaharui ijin tinggalku ( visa pensiun) dan ini sah di negara ini. W dan komplotannya telah melaporkanku untuk kegiatan-kegiatan lokakarya yang aku selenggarakan bertahun- tahun yang lalu , dimana saat itu belum ada ijin sah yang tersedia. Sejak hari itu segala sesuatu menjadi begitu aneh dan penjelasan secara detail tidak penting lagi. Aku menjalani beberapa wawancara dengan petugas imigrasi dan itu berlangsung setiap hari di kantor imigrasi Denpasar. Dalam waktu delapan hari aku akan di deportasi.
Yang paling menyakitkan dalam hal ini adalah memberitahu stafku tentang ini. Sesuatu yang tidak bisa aku maafkan dan tidak mungkin aku lupakan. Mereka menangis dan memelukku. Kami sudah bersama membangun masa depan , masa depan untuk kesejahteraan kami bersama. Selama dua tahun mereka menjadi satu satunya tulang punggung keluarga mereka dan sekarang mereka harus kehilangan pekerjaan mereka. Hatiku hancur , aku mencintai hidupku yang sudah aku ciptakan bersama mereka di sini, dan aku juga mencintai mereka seperti keluargaku sendiri. Aku sudah bisa membatu mereka dengan memberikan gaji mereka tiga bulan ke depan. Aku berharap aku bisa melakukan lebih banyak lagi untuk mereka. W dan L tidak ada keraguan untuk mempersulit orang- orang ini meskipun mereka sesama orang Bali. W dan L hanya mau memuaskan keserakahan mereka.
Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Perempuan muda yang aku lindungi di bawah sayapku tujuh belas tahun yang lalu, sudah memutuskan untuk mengambil semuanya untuk dirinya sendiri.
Aku sekarang harus membayar semuanya dan menghabiskan hari-hari terakhirku di Bali dengan memindahkan barang -barang yang masih bisa aku pindahkan. Seorang teman baikku menemukan sebuah gudang untuk menyimpan semua barang-barangku. Ada dua puluh orang yang membantuku membongkar rumah kayu jati dan membawa bathtub, patung-patung, toilet, alat-alat lainnya, jendela; apa saja yang bisa dipindahkan.
Untuk pertama kalinya di dalam hidupku aku mengalami tingkat kepanikan yang tinggi. Aku tidak bisa makan dan tidur. Aku selalu dibayangi ketakutan, kecemasan, dan pikiranku tak menentu. Di malam hari staf laki-laki akan berjaga di properti, sambil juga mereka mengawasi keadaanku. Mereka bergantian menjagaku, membuatku merasa nyaman dan selebihnya hatiku pedih karena aku tidak mau hidupku bersama mereka berakhir di sini. Tapi tanggal 30 September dengan ditemani dua petugas aku dikawal untuk naik pesawat ke Jakarta.
Orang Bali adalah orang yang paling menakjubkan yang pernah aku temui dan tidak akan ada sesuatu pun yang bisa mengambil kenangan hidupku yang indah di sana. Rasa bersyukurku lebih kuat daripada rasa kehilanganku. Proses deportasi berlangsung untuk enam bulan. Secara teknis aku masih bisa datang ke Bali, tapi sesuatu sudah hancur dan aku tidak yakin kalau aku merasa aman lagi di sana.
W dan L tidak merasa menyesal dengan apa yang sudah mereka lakukan. L bahkan menggunakannya untuk mengancam orang asing lain yang berbisnis dengannya. Dia mengatakan kepada seorang perempuan asing, ”aku sudah membuat Evelyn dideportasi, aku juga bisa melakukan hal yang sama padamu”.
Kenaifanku, kecerobohan fiskal, tidak memperhatikan hukum yang sah, kepercayaan yang salah, dan khayalan yang keras kepala sudah membuatku kehilangan mimpiku untuk hidup di Bali. Aku sudah membayar semua dan akan terus seperti itu dan akan aku mulai lagi di usiaku yang ke 70 tahun. Masih banyak hal-hal penting yang harus aku lakukan , dan aku akan menjalaninya seiring aku menjadi lebih kuat lagi.
Menulis kisahku ini sebenarnya lebih sulit dari yang aku bayangkan. Sebuah kisah tentang pengkhianatan dan kehilangan yang tidak pernah terlintas di benakku yang akan aku ceritakan untuk orang lain. Tapi suara kecil berbisik ditelingaku mungkin dengan dipaksa untuk meninggalkan Bali, cara itu sudah menyelamatkan hidupku. Aku terlalu terikat dengan mimpiku yang tak bisa aku lepaskan , tidak bisa sampai akhirnya mimpi itu direnggut dari tanganku yang berdarah. Aku percaya mungkin aku bisa mati jika aku tinggal lebih lama lagi di sana. Betapa beracunnya orang yang aku percaya saat itu.
Salah satu pengalaman pahit di hidupku ini juga telah menunjukkanku ke salah satu keyakinan hidup. Setelah meninggalkan Bali aku pergi ke Inggris dan Amerika. Setiap teman lama yang kutemui memberiku dukungan, semangat dan cinta. Aku sudah diingatkan tidak ada satu pun materi didunia ini yang bisa dibandingkan dengan cinta yang diberikan dengan tulus dan dicintai apa adanya.
Aku sekarang semakin berumur, tapi aku tidak tahu apa aku menjadi lebih bijak saat ini ( aku pikir ini salah satu mitos dari pertambahan usia). Aku diberkati dengan kesehatan. Hatiku hancur tapi masih mampu untuk mencintai. Aku lebih miskin tapi tidaklah kekurangan, dan setiap hari aku merasa kalau aku orang terkaya di dunia.
Comentarios